20
Dia bangun lagi, biarpun sudah berkali-kali dia diterajang jatuh, tersungkur menyembah tanah. Tangannya terketar-ketar, otot-ototnya tegang dan panas sedang bibirnya yang diketap merah dengan luka. Bajunya yang asal-asal putih kini berdebu dan berlumpur, gelap sedikit barangkali daripada tona kulitnya.Pantang anak Melayu mengalah, tegas hatinya. Tapi di benak fikirannya, yang ditentangnya itu juga Melayu, juga berpegang pada prinsip yang sama.
Aku pantang, kau pantang.
Mungkinkah pertarungan ini akan meleret melepasi sangkakala hingga ke pintu neraka? Perlukan mereka berdua diterajang jatuh ke lurah-lurah api hitam membakar oleh malaikat-malaikat yang marah dan benci, supaya baru ketika itu mereka akan berhenti?
Hell no.
Kalau orang dulu-dulu boleh berkata-kata dan kata-katanya kita masih pegang sebagai prinsip, kenapa tidak boleh kita berkata-kata sekarang, dan pegang kata-kata kita itu juga sebagai prinsip?
Siapa yang memberi keistimewaan itu kepada mereka-mereka ini? Kenapa perlu kita teraskan hidup di atas kata-kata orang yang hidupnya di zaman yang langsung asing daripada kita?
Bukankah kita juga berakal dan berfikir?
It used to be interesting, now I'm just getting tired of it.
As cliché as it might sound, wake me up when september ends.
About this entry
You’re currently reading “
- Published:
- Monday, September 15, 2008
- by amerhadiazmi
0 Comments
Post a Comment